Minggu, 15 Januari 2012

Perkembangan Cinema Digital


Sinema digital merujuk pada penggunaan teknologi digital untuk mendistribusikan dan menayangkan gambar bergerak. Sebuah film dapat didistribusikan lewat perangkat keras, piringan optik atau satelit serta ditayangkan menggunakan proyektor digital alih-alih proyektor film konvensional. Sinema digital berbeda dari HDTV atau televisi high definition. Sinema digital tidak bergantung pada penggunaan televisi atau standar HDTV, aspek rasio atau peringkat bingkai. Proyektor digital yang memiliki resolusi 2K mulai disebarkan pada tahun 2005, dan sejak tahun 2006 jangkauannya telah diakselerasi.
sinema digital dapat dibuat dengan media video yang untuk penayangannya dilakukan transfer dari format 35 milimeter (mm) ke format high definition (HD). Proses transfer ke format HD melalui proses cetak yang disebut dengan proses blow up. Setelah menjadi format HD, penayangan film dilakukan dari satu tempat saja, dan dioperasikan ke bioskop lain dengan menggunakan satelit, sehingga tidak perlu dilakukan salinan film. Contohnya, dari satu bioskop di Jakarta, film dapat dioperasikan atau diputar ke bioskop-bioskop di daerah melalui satelit.

Setelah tren digital terjadi dalam produksi maupun pasca produksi di industri perfilman maka langkah digitalisasi berikutnya adalah digitalisasi bioskop. Digitalisasi bioskop sudah terjadi di berbagai negara termasuk di Indonesia. Grup Blitz sudah sejak berdirinya menyediakan fasilitas ini, sementara Grup 21 konon kabarnya sudah memesan 200 alat yang disebut DCP (digital cinema package), dan sekitar separuhnya sudah dipasang. Sistem/teknologi yang dipakai Blitz berbeda dengan yang dipakai 21. Pertanyaannya: apa yang terjadi apabila DCP menjadi teknologi standar di bioskop dan kapan hal ini akan terjadi? Sebelum kita bisa menjawab itu maka kita harus mengetahui proses digitalisasi yang sudah berlangsung secara global maupun di Indonesia sejak awal adanya teknologi ini.
Seperti teknologi televisi, bioskop digital bukanlah inovasi dari satu orang atau satu grup namun gabungan perkembangan teknologi yang diciptakan oleh bermacam-macam orang dari bermacam-macam latar belakang dari masa yang berbeda-beda sampai menjadi suatu standar baru di industri bioskop.
Tahun 2002 major studios Hollywood membentuk suatu organisasi bernama Digital Cinema Initiative (DCI). Organisasi ini diciptakan untuk menentukan standar arsitektur untuk bioskop digital agar tercapai model yang seragam secara global, berkualitas tinggi dan tangguh. Dengan mengacu pada standar Society of Motion Picture and Television Engineers (SMPTE) maupun International Organization for Standardization (ISO) maka ditentukan standar/format tertentu yang harus diaplikasikan untuk menyiapkan master materi film, sistem distribusinya, sampai ke urusan perlindungan isi film (content), pengacakan (encryption), dan penandaan khusus untuk menghindari pembajakan (forensic marking). Semua teknologi bioskop digital yang memenuhi persyaratan mereka disebut DCI Compliance (sesuai/cocok dengan DCI). Perbedaan dasar antara sinema analog dengan digital adalah cara pengemasannya (packaging), distribusi, dan penayangannya.
Mayoritas film-film di dunia ini masih dalam bentuk cetak kopi (release prints) atau seluloid (walaupun sudah lama diganti dengan bahan baku dasar polyester). Proses pengerjaannya dilakukan di laboratorium film dengan teknik optical printing (mencetak secara optik) dengan mesin proses positif atau ECP (Eastmant Colour Positives) secara fotokimia (photochemical). Alat untuk memutar materi film ini adalah proyektor film analog. Pada bioskop digital, materinya berbentuk file data digital audio maupun gambar dengan format JPEG 2000 (gambar) dan PCM (audio) dengan resolusi minimal 2048x1080 (2K) sesuai dengan DCI Compliance.
Proses pengerjaan mastering digital ini dilakukan dengan sistem teknologi yang disebut DCP encoding. DCP encoder mengkonversi format data digital post production ke format DCI Compliance. Format data audio dan video digital post production berbeda dengan format DCP. Untuk data video, post production menggunakan format cineon ataupun DPX, sedang untuk audio digunakan berbagai macam format tapi yang populer adalah WAV.
Secara resolusi, kopi film 35mm “tradisional” masih lebih unggul dari format DCI Compliance yang sekarang ada. Format kopi film 35mm diperkirakan setara dengan resolusi 8K sedangkan format tayang di bioskop digital yang paling tinggi kualitasnya masih 4K. Kelebihan format digital adalah kejernihan kualitas gambar yang selalu konsisten karena tidak adanya risiko gambar cacat atau kotor karena sentuhan fisik seperti yang terjadi dengan kopi film.
Untuk pendistribusian, idealnya produser/rumah produksi mengirim materi ke server bioskop pada waktu dan tempat yang ditentukan lewat jaringan satelit. Kenyataaannya, karena keterbatasan infrastruktur, sampai sekarang materi film dikirim secara fisik dalam bentuk hard disk portable ke bioskop tujuan dan kemudian datanya ditransfer ke server bioskop.
Materi film itu baru bisa ditayangkan bila dimasukkan nomor seri khusus ke dalam sistem proteksi isi, pengacakan, dan penandaan khusus yang menempel pada materi film digital itu. Teknologi sistem proteksi isi ini disebut Key Delivery Message (KDM). Dengan KDM, materi film digital hanya bisa dibuka dengan nomor seri khusus pada waktu dan di tempat yang sudah ditentukan. Apabila terjadi pembajakan di bioskop, dengan alat khusus dapat dibaca watermark digital di kopi bajakan sehingga dapat dilacak di bioskop mana dan kapan pembajakan terjadi.
Walaupun sistem proteksi ini sangat menjanjikan untuk keamanan, justru karena materi film sudah berbentuk data digital, banyak pihak yang malah merasa tidak aman karena dengan mudah data dapat ditransfer dan dibuka dengan komputer. Berbeda dengan teknologi analog, di mana pembajakan hanya bisa dilakukan terhadap cetak kopi film di tempat tertentu seperti di gedung bioskop ataupun dengan teknologi high end seperti telecine atau filmscanner.

MACAM – MACAM ALGORITMA TV DIGITAL


Di sini bukan berarti pesawat TV-nya yang Digital, melainkan lebih kepada sinyal yang dikirimkan adalah signal digital atau mungkin yang lebih tepat adalah siaran digital (Digital Broadcasting). Kelebihan signal digital dibanding analog adalah ketahanannya terhadap noise dan kemudahannya untuk diperbaiki (recovery) di penerima dengan kode koreksi error (error correction code). 
Akhir-akhir ini, performance TV digital untuk penerimaan pada mobile terminal (misal telepon genggam, mobil, bus, kereta listik dan lain-lain yang bergerak) bisa ditanggulangi dan ditingkatkan performansinya dengan menggunakan prinsip space diversity (beberapa peneliti Jepang menambahkan antenna diversity bersamaan dengan space diversity sehingga diperoleh diversity 2x lipat) untuk mengurangi efek Doppler karena pergerakan. Di laboratoritum penulis sendiri, antena dengan jumlah 4 ternyata mampu menaikkan performance (dengan mengurangi kesalahan bit) dari bit-error-rate (BER) 1/10 (1E-1) menjadi 1/1000 (1E-3) untuk kecepatan pergerakan sebesar 100 km/jam. Ini adalah sebuah perbaikan yang cukup menakjubkan hanya dengan menaruh antena dan sedikit algoritma pengolahan sinyal.

Kualitas TV Digital dan Analog saat bergerak

Keuntungan transmisi digital lainnya adalah less bandwidth (atau high efficiency bandwidth) karena interference digital channel lebih rendah, sehingga beberapa channel bisa dikemas atau “dipadatkan” dan dihemat. Hal ini menjadi sangat mungkin karena broadcasting TV Digital menggunakan sistem OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplexing) yang tangguh dalam mengatasi efek lintas jamak (multipath fading). Kemudian keuntungan lainnya adalah bahwa sinyal digital bisa dioperasikan dengan daya yang rendah (less power). Itulah beberapa hal yang sangat mengutungkan dalam TV digital.
Keuntungan di atas menghasilkan kualitas gambar dan warna yang sangat jauh lebih bagus daripada TV analog. Bahkan kalau boleh diungkapkan “pori-pori kulit seorang presenter pun menjadi terlihat sangat jelas di depan pesawat TV Anda” karena sangat bersihnya dan jelasnya gambar yang diterima.



Eksperimen TV Digital dalam bus di Jepang

Konsekuensi Era TV Digital
Sedikit ketidaknyamanan yang mau tidak mau harus diterima dengan peralihan ke TV digital ini adalah perlunya pesawat TV baru atau paling tidak kita perlu membeli TV Tuner baru yang harganya bisa berkisar 10.000 yen (sekitar 1 juta rupiah). Namun penulis menilai bahwa harga ini bukan harga mati yang tidak bisa ditekan alias bukan masalah yang besar dalam menyongsong datangnya TV digital beberapa tahun lagi  (meski harga pada tahun 2006 ini, Tuner TV Digital di pasaran Jepang masih sekitar 25.000 – 50.000 yen).
Kemudian sedikit yang membedakan TV Analog dan Digital adalah sistem pemrosesan sinyalnya. Pada sistem digital, karena diperlukan tambahan proses misalnya Fast Fourier Transform (FFT), Viterbi decoding dan equalization di penerima, maka TV Digital ini akan sedikit terlambat beberapa detik dibandingkan TV Analog seperti pada Gambar 2. Ketika TV analog sudah menampilkan gambar baru, maka TV Digital masih beberapa detik menampilkan gambar sebelumnya. Namun penulis menilai ini bukan halangan besar bagi diimplementasikannya TV Digital.

Sistem Pemancar TV Digital

Di seluruh dunia ada 3 standar TV Digital yaitu DTV (Digital Television, standar di USA), DVB-T (Digital Video Broadcasting Terrestrial, standar di Eropa) dan ISDB-T (Integrated Services Digital Broadcasting Terrestrial, standar di Jepang). Semua standar di atas berbasiskan OFDM dengan error correcting code reed Solomon dan/atau convolutional coding dan audio codingnya adalah MPEG-2 Audio AAC untuk ISDB-T dan DTV dan MPEG-1 layer2 untuk DVB-T.
Lagi-lagi Jepang membuat standar sendiri dalam hal TV Digital ini, sama seperti yang mereka lakukan pada September 2005 lalu di Jerman (saat itu Jepang diberi kesempatan untuk mempresentasikannya setelah USA dan Eropa, IEEE PIMRC2005), bahwa Jepang juga ingin membuat standar sendiri untuk sistem komunikasi terbaru yaitu UWB (Ultra Wide Band) dengan pusat Riset saat ini di Yokohama.
Dibandingkan dengan DTV dan DVB-T, ISDB-Tnya Jepang dikabarkan sangat fleksibel dan banyak punya kelebihan terutama pada untuk penerima yang bergerak (mobile reception) atau boleh kita katakan bahwa ISDB-T lebih tahan terhadap efek Doppler. ISDB-T yang merupakan satu dari dua saudaranya yaitu ISDB-S (untuk transmisi lewat kabel) dan ISDB-S (untuk satelit), juga bisa diaplikasikan pada sistem dengan bandwidth 6,7MHz dan 8MHz.
Fleksibilitas ISDB-T bisa kita lihat juga dari mode yang dipakai yaitu mode 1 untuk aplikasi mobile SDTV, mode 2 untuk aplikasi penerima yang mobile dan fixed HDTV/SDTV dan Mode 3 untuk yang khusus penerima fixed HDTV/SDTV. Semua data modulasi fleksible untuk QPSK dan 16QAM atau 64QAM. Kemudian perubahan mode ini bisa diatur melalui apa yang disebut TMCC (Transmission and Multiplexing Configuration Control).

Kapan TV Digital di Indonesia ?

Dari laporan grup peneliti Digital Broadcasting Jepang (DiBEG) dan Monbukagakusho, bahwa di Indonesia mereka juga telah mempresentasikan sistem digital ini sekitar bulan Februari 2004 lalu, namun nampaknya perhatian Indonesia belum jauh ke sana. Saat ini TV digital di Indonesia baru bisa dinikmati melalui satelit. Jadi gambar kualitas tinggi yang jernih sepertinya masih langka untuk bisa dinikmati masyarakat bawah dalam waktu dekat ini.

Perkembangan TV Digital dan Perbedaan TV Digital dengan TV Analog


Televisi digital atau DTV adalah jenis televisi yang menggunakan modulasi digital dan sistem kompresi untuk menyiarkan sinyal gambar, suara, dan data ke pesawat televisi. Televisi digital merupakan alat yang digunakan untuk menangkap siaran TV digital, perkembangan dari sistem siaran analog ke digital yang mengubah informasi menjadi sinyal digital berbentuk bit data seperti komputer.
Perkembangan nya sendiri di Indonesia di mulai dari tahun 2006, beberapa pelaku bisnis pertelevisian Indonesia melakukan uji coba siaran televisi digital. PT Super Save Elektronik melakukan uji coba siaran digital bulan April-Mei 2006 di saluran 27 UHF dengan format DMB-T (Cina) sementara TVRI/RCTI melakukan uji coba siaran digital bulan Juli-Oktober 2006 di saluran 34 UHF dengan format DVB-T. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor:07/P/M.KOMINFO/3/2007 tanggal 21 Maret 2007 tentang Standar Penyiaran Digital Terestrial untuk Televisi Tidak Bergerak di Indonesia menetapkan DVB-T ditetapkan sebagai standar penyiaran televisi digital teresterial tidak bergerak.
Stasiun-stasiun televisi swasta memanfaatkan teknologi digital pada sistem penyiaran terutama pada sistem perangkat studio untuk memproduksi, mengedit, merekam, dan menyimpan program. Sementara itu penyelenggara televisi digital memanfaatkan spektrum dalam jumlah besar, dimana menggunakan lebih dari satu kanal transmisi. Penyelenggara berperan sebagai operator jaringan dengan mentransmisikan program stasiun televisi lain secara terestrial menjadi satu paket layanan. Pengiriman sinyal gambar, suara, dan data oleh penyelenggara televisi digital memakai sistem transmisi digital dengan satelit atau yang biasa disebut sebagai siaran TV berlangganan.
TVRI telah melakukan peluncuran siaran televisi digital pertama kali di Indonesia pada 13 Agustus 2008. Pelaksanaan dalam skala yang lebih luas dan melibatkan televisi swasta dapat dilakukan di bulan Maret 2009 dan dipancarkan dari salah satu menara pemancar televisi di Joglo, Jakarta Barat. Sistem penyiaran digital di Indonesia mengadopsi sistem penyiaran video digital standar internasional (DVB) yang dikompresi memakai MPEG-2 dan dipancarkan secara terestrial (DVB-T) pada kanal UHF (di Jakarta di kanal 40, 42, 44 dan 46 UHF) serta berkonsep gratis untuk mengudara. Penerimaan sinyal digital mengharuskan pengguna di rumah untuk menambah kotak konverter hingga pada nantinya berlangsung produksi massal TV digital yang bisa menangkap siaran DVB-T tanpa perlu tambahan kotak konverter.
Selain siaran DVB-T untuk pengguna rumah, dilakukan uji coba siaran video digital berperangkat genggam (DVB-H). Siaran DVB-H menggunakan kanal 24 dan 26 UHF dan dapat diterima oleh perangkat genggam berupa telepon seluler khusus. Keutamaan DVB-H adalah sifat siaran yang kompatibel dengan layar telepon seluler, berteknologi khusus untuk menghemat baterai, dan tahan terhadap gangguan selama perangkat sedang bergerak. Jaringan DVB-H di Indonesia dipercayakan kepada jaringan Nokia-Siemens.

PERBEDAAN TV DIGITAL DAN ANALOG

Perbedaan TV Digital dan TV Analog hanyalah perbedaan pada sistim tranmisi pancarannya. TV analog dengan cara memodulasikannya langsung pada Frekwensi Carrier sedangkan TV digital melalui data gambar atau suara dikodekan dalam mode digital (diskret) baru di pancarkan

Jika TV analog signalnya lemah (semisal problem pada antena) maka gambar yang diterima akan banyak ‘semut’. Pada TV digital yang terjadi adalah bukan ‘semut’ melainkan gambar yang lengket seperti kalau kita menonton VCD yang rusak kalau pada TV, analog satu pemancar dengan pemancar lainnya harus dengan frekwensi berbeda, jika dengan mode Digital, satu frekwensi bisa memancarkan banyak siaran TV.